Get me outta here!

Senin, 14 April 2014

Program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Perubahan Perilaku untuk Perbaikan MP-ASI



Dengan beberapa tahun tersisa sebelum penilaian akhir Millenium Development Goals (MDGs) di tahun 2015, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan gizi buruk terutama di kalangan anak-anak di awah usia 5 tahun. Sebuah survei tahun 2007 oleh Pemerintah Indonesia menemukan bahwa tingkat prevalensi underweight, stunting, dan wasting pada balita masing-masing 18%, 37%, dan 14%. Praktek pemberian makan yang tepat selama masa anak-anak, terutama pada tahun prasekolah, penting untuk menjaga gizi yang tepat, kesehatan, dan perkembangan anak. Penelitian pada praktik pemberian makan anak-anak ini telah menunujukkan bahwa praktek pemberian makan yang tidak tepat dapat mengakibatkan konsekuensi serius bagi pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup anak-anak, terutama di negara berkembang.
Makanan pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi mengacu pada waktu yang tepat dalam pengenalan makan yang aman dan bergizi sebagai pendamping dari ASI seperti kebersihan dan kaya nutrisi yang diperkenalkan pada bayi sekitar usia 6 bulan. Strategi pemberian MP-ASI tidak hanya intervensi peningkatan kualitas dan kuantitas makanan tetapi juga meningkatkan perilaku makan.
Pengetahuan gizi dan praktek pemberian makan yang tidak tepat merupakan bagian dari pengasuh diantara beberapa penyebab penting dari masalah gizi buruk pada anak-anak. Selain itu, sebagian besar dari kekurangan gizi (terutama pada masa pemberian makanan tambahan) disebabkan oleh keyakinan yang salah tentang makanan dan kesehatan menghasilkan praktek pemberian makan dan kesehatan yang tidak tepat bukan karena kurangnya sumber daya makanan. Dengan demikian, penting untuk membekali pengasuh dengan pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk membantu mereka dalam memodifikasi praktek pemberian makan. Hal ini harus dilakukan melalui pendekatan pendidikan gizi yang sesuai yang sensitif secara budaya dan dibuat pada saat yang tepat, seperti selama masa kehamilan dan selama periode perkembangan anak.
Hermina, dkk dari Badan Litbangkes – Kemenkes RI meneliti tentang faktor informasi ASI dan MP-ASI kaitannya dengan pemberian ASI-Eksklusif di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hermina, dkk mengungkapkan bahwa sebagian ibu-ibu yang diteliti memperoleh informasi tentang ASI dan MP-ASI, dari tenaga kesehatan, baik di tempat pelayanan kesehatan maupun non-yankes. Sehingga pengetahuan tenaga kesehatan tentang ASI dan MP-ASI perlu terus ditingkatkan dengan dilengkapi berbagai media penyuluhan. Dari hasil uji statistik tidak ditemukan hubungan bermakna antara perolehan informasi ibu tentang ASI dan MP-ASI dengan praktek menyusui. Hal ini mungkin karena belum berjalannya komunikasi dua arah atau konseling selama waktu pemeriksaan kehamilan.
Pendidikan gizi pada pengasuh dapat membantu untuk menjelaskan kesalahpahaman budaya dan tradisi dan meningkatkan pengetahuan gizi secara umum. Praktek pemberian makan bisa ditingkatkan jika tenaga kesehatan memperlakukan dan memberikan konseling kepada pengasuh tentang praktek pemberian makan yang tepat dan memonitoring perkembangannya secara lebih dekat. Tetapi tenaga kesehatan yang sudah dilengkapi dengan keahlian khusus mungkin tidak dapat disediakan dalam jumlah yang cukup untuk pelayanan rutin di banyak negara berkembang. Pelatihan gizi pada tenaga kesehatan dapat meningkatkan praktek pemberian makan dan dapat menurunkan kejadian anak gizi buruk.
Bruno F Sunguya, dkk dari Univeritas Tokyo melakukan sistematik review mengenai keefektifitasan pelatihan gizi kepada tenaga kesehatan terhadap peningkatan praktek pemberian makan untuk anak usia 6 bulan hingga 2 tahun. Dari review tersebut dihasilkan pelatihan gizi dapat meningkatkan atau memperbarui pengetahuan gizi dan makanan pada tenaga kesehatan. Pengetahuan gizi yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan terlatih dapat diterima ketika mereka memberikan konsultasi pada pengasuh yang mengunjungi pelayanan kesehatan sehingga pengasuh yang sudah diberi konsultasi dapat menjadi agen perubahan terutama dalam merubah perilaku praktek pemberian makan. Perilaku tersebut meliputi kebersihan dalam menyiapkan makanan, frekuensi pemberian makan, menggunakan bahan makanan yang berkualitas dan beragam, dan peningkatan asupan energi. Tenaga kesehatan yang terlatih dapat memberikan prospek untuk memberikan sumber informasi yang dapat diakses dan dipercaya untuk masyarakat sekitar.
Selain dari petugas kesehatan dan orang terdekat, dalam penelitian Hermina, dkk sebagian kecil responden (29,6%) mendapat informasi tentang ASI dan MP-ASI dari media massa, baik media elektronik (TV dan radio), maupun media cetak (koran, majalah, buku, poster). Masih rendahnya responden yang memperoleh informasi tentang ASI dan MP-ASI dari media massa hal ini merupakan tantangan bagi penanggung jawab program kesehatan. Padahal di pihak lain susu komersial lebih gencar melalui media massa. Seperti dilaporkan dalam SDKI 2007 bahwa persentase pemberian susu formula bayi pada umur <2 bulan sebanyak 28%. Terlihat mengalami peningkatan sebesar 11% dibandingkan SDKI 2002-2003 (17%). Selain itu dilaporkan juga bahwa pemberian makanan padat komersial sudah diberikan pada bayi umur 2-3 bulan (30,4%) dan pada umur 4-5 bulan sebanyak 52,9%.
Dyah Ayu Inayati, dkk melakukan penelitian pada pengasuh utama balita dengan mild wasting (z-score BB/TB <-1,0 - ≥-1,5) berusia ≥6 - <60 bulan di Pulau Nias, Indonesia. Dari kriteria tersebut didapatkan 114 responden mendapat perlakuan pendidikan gizi intensif dan 96 responden mendapat perlakuan pendidikan gizi non intensif. Pendidikan gizi intensif dan non intensif dibedakan dari strategi dan proses pemberian edukasi. Peneliti ingin mengetahui kefektifitasan pendidikan gizi intensif dan interaktif yang dilaksanakan setiap minggu dibandingkan dengan pendidikan gizi non intensif setiap bulan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa program pendidikan gizi intensif memberikan dampak positif terhadap peningkatan pengetahuan dan praktek gizi dari pengasuh balita mild wasting. Kelebihan dari pendidikan gizi intensif, selain frekuensi pertemuan yang sering juga menghadirkan suasana yang kondusif dengan pendekatan dialog dan diskusi dalam facilitated group discussion, dan juga menggunakan gambar yang sudah disesuaikan dengan budaya setempat. Hal ini sangat membantu dalam mempelajari dan mengingat informasi yang baru dan memotivasi responden untuk meningkatkan praktek gizi dengan meningkatkan kualitas makanan dan praktek mengasuh anak ketika di rumah. Penggunaan gambar dapat meningkatkan fokus perhatian terhadap materi, memberikan informasi kesehatan yang komprehensif, mengulang apa yang sudah dijelaskan, dan menerapkan materi yang diberikan.
Hadi Riyadi dan Dadang Sukandar dari Institut Pertanian Bogor mengungkapkan bahwa perlakuan penyuluhan gizi dan tanaman pekarangan (home gardening) memberikan dampak yang sangat besar terhadap perbaikan asupan makronutrien dan mikronutrien. Pengetahuan tentang praktek pemberian makanan yang tepat merupakan prasyarat untuk memperbaiki akses dan asupan makanan yang cukup dan bergizi, yang merupakan landasan untuk mengurangi segala bentuk masalah gizi kurang. Dalam penelitiannya, Hadi Riyadi dan Dadang Sukandar melakukan perlakuan dengan memberikan pendidikan gizi yang dilaksanakan selama 5 bulan dengan frekuensi 2 kali dalam sebulan, tiap pertemuan sekitar 60-90 menit. Dari penelitian tersebut menghasilkan jumlah balita dengan frekuensi pemberian MP-ASI tiga kali sehari di desa kontrol adalah 36,7% dan di desa perlakuan 26,5%. Di desa kontrol dan desa perlakuan bayi berusia empat bulan yang sudah diberikan makanan padat sebanyak 21,8% dan 20,4%.
KIE juga dapat meningkatkan berat badan dan tinggi badan balita. Dalam reviewnya Aamer Imdad dkk dari The Aga Khan University mengungkapkan bahwa MP-ASI, dengan pendidikan gizi, dan konseling gizi ibu hamil secara signifikan meningkatkan berat badan dan tinggi badan pada anak usia 6-24 bulan.
KIE mempunyai dampak positif terhadap pengetahuan, sikap, dan ketrampilan praktek pemberian makan dan peningkatan berat badan dan tinggi badan balita. Peran tenaga kesehatan sangat penting dalam mendukung program KIE sebagai sumber pemberi informasi yang dapat dipercaya kepada masyarakat. Selain itu, metode edukasi dengan metode pendekatan yang tepat kepada pengasuh juga harus diperhatikan agar pengasuh lebih mudah dalam mengingat, menerapkan, dan merubah perilakunya. Faktor-faktor tersebut patut diperhatikan agar pelaksanaan program ini dapat berjalan dengan efektif sehingga dapat menurunkan angka tingkat prevalensi underweight, stunting, dan wasting.

DAFTAR PUSTAKA
Hermina, Fuada N, dan Hidayat TS. Faktor Informasi ASI dan MP-ASI Kaitannya dengan Praktik Pemberian ASI-Eksklusif di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Studi di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang). Buletin Penelitian Kesehatan, 2011; 39 (1): 22-23
Imdad A, Yakoob MY, dan Bhutta ZA. Impact of Maternal Education About Complementary Feeding and Provision of Complementary Foods on Child Growth in Developing Country. BMC Public Health, 2011; 11 (3): 525-540
Inayati DA, Scherbaum V, Purwestri RC, Wirawan NN, Suryantan J, Hartono S, Bloem MA, Pangaribuan RV, Biesalski HK, Hoffmann V, dan Bellows AC. Improved Nutrition Knowledge and Practice Through Intensive Nutriton Education: A Study Among Caregivers of Mildly Wasted Children on Nias sland, Indonesia. Food and Nutrition Bulletin, 2012; 33 (2): 117-127
Riyadi H dan Sukandar D. Asupan Gizi Anak Balita Peserta Posyandu. Jurnal Gizi dan Pangan, 2009; 4 (1): 42-51
Sunguya BF, Poudel KC, Mlunde LB, Shakya P, Urassa DP, Jimba M, dan Yasuoka J. Effectiveness of Nutrition Training of Health Workers Toward Improving Caregivers Feeding Practices for Children Aged Six Months to Two Years: A Systematic Review. Nutrition Journal, 2013; 12 (66)

UNICEF. 2012. Programming Guide Infant and Young Child Feeding. New York

0 komentar:

Posting Komentar