Dengan
beberapa tahun tersisa sebelum penilaian akhir Millenium Development Goals (MDGs) di tahun 2015, Indonesia masih
menghadapi beberapa tantangan gizi buruk terutama di kalangan anak-anak di awah
usia 5 tahun. Sebuah survei tahun 2007 oleh Pemerintah Indonesia menemukan
bahwa tingkat prevalensi underweight,
stunting, dan wasting pada balita
masing-masing 18%, 37%, dan 14%. Praktek pemberian makan yang tepat selama masa
anak-anak, terutama pada tahun prasekolah, penting untuk menjaga gizi yang
tepat, kesehatan, dan perkembangan anak. Penelitian pada praktik pemberian
makan anak-anak ini telah menunujukkan bahwa praktek pemberian makan yang tidak
tepat dapat mengakibatkan konsekuensi serius bagi pertumbuhan, perkembangan,
dan kelangsungan hidup anak-anak, terutama di negara berkembang.
Makanan
pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi mengacu pada waktu yang tepat dalam
pengenalan makan yang aman dan bergizi sebagai pendamping dari ASI seperti
kebersihan dan kaya nutrisi yang diperkenalkan pada bayi sekitar usia 6 bulan.
Strategi pemberian MP-ASI tidak hanya intervensi peningkatan kualitas dan kuantitas
makanan tetapi juga meningkatkan perilaku makan.
Pengetahuan
gizi dan praktek pemberian makan yang tidak tepat merupakan bagian dari
pengasuh diantara beberapa penyebab penting dari masalah gizi buruk pada
anak-anak. Selain itu, sebagian besar dari kekurangan gizi (terutama pada masa
pemberian makanan tambahan) disebabkan oleh keyakinan yang salah tentang
makanan dan kesehatan menghasilkan praktek pemberian makan dan kesehatan yang
tidak tepat bukan karena kurangnya sumber daya makanan. Dengan demikian,
penting untuk membekali pengasuh dengan pengetahuan dan informasi yang
diperlukan untuk membantu mereka dalam memodifikasi praktek pemberian makan.
Hal ini harus dilakukan melalui pendekatan pendidikan gizi yang sesuai yang
sensitif secara budaya dan dibuat pada saat yang tepat, seperti selama masa
kehamilan dan selama periode perkembangan anak.
Hermina,
dkk dari Badan Litbangkes – Kemenkes RI meneliti tentang faktor informasi ASI
dan MP-ASI kaitannya dengan pemberian ASI-Eksklusif di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Hermina, dkk mengungkapkan bahwa sebagian ibu-ibu yang diteliti
memperoleh informasi tentang ASI dan MP-ASI, dari tenaga kesehatan, baik di
tempat pelayanan kesehatan maupun non-yankes. Sehingga pengetahuan tenaga
kesehatan tentang ASI dan MP-ASI perlu terus ditingkatkan dengan dilengkapi
berbagai media penyuluhan. Dari hasil uji statistik tidak ditemukan hubungan
bermakna antara perolehan informasi ibu tentang ASI dan MP-ASI dengan praktek
menyusui. Hal ini mungkin karena belum berjalannya komunikasi dua arah atau
konseling selama waktu pemeriksaan kehamilan.
Pendidikan
gizi pada pengasuh dapat membantu untuk menjelaskan kesalahpahaman budaya dan
tradisi dan meningkatkan pengetahuan gizi secara umum. Praktek pemberian makan
bisa ditingkatkan jika tenaga kesehatan memperlakukan dan memberikan konseling
kepada pengasuh tentang praktek pemberian makan yang tepat dan memonitoring
perkembangannya secara lebih dekat. Tetapi tenaga kesehatan yang sudah
dilengkapi dengan keahlian khusus mungkin tidak dapat disediakan dalam jumlah
yang cukup untuk pelayanan rutin di banyak negara berkembang. Pelatihan gizi
pada tenaga kesehatan dapat meningkatkan praktek pemberian makan dan dapat
menurunkan kejadian anak gizi buruk.
Bruno
F Sunguya, dkk dari Univeritas Tokyo melakukan sistematik review mengenai keefektifitasan
pelatihan gizi kepada tenaga kesehatan terhadap peningkatan praktek pemberian
makan untuk anak usia 6 bulan hingga 2 tahun. Dari review tersebut dihasilkan
pelatihan gizi dapat meningkatkan atau memperbarui pengetahuan gizi dan makanan
pada tenaga kesehatan. Pengetahuan gizi yang diberikan oleh tenaga kesehatan
yang memiliki keahlian dan terlatih dapat diterima ketika mereka memberikan
konsultasi pada pengasuh yang mengunjungi pelayanan kesehatan sehingga pengasuh
yang sudah diberi konsultasi dapat menjadi agen perubahan terutama dalam
merubah perilaku praktek pemberian makan. Perilaku tersebut meliputi kebersihan
dalam menyiapkan makanan, frekuensi pemberian makan, menggunakan bahan makanan
yang berkualitas dan beragam, dan peningkatan asupan energi. Tenaga kesehatan
yang terlatih dapat memberikan prospek untuk memberikan sumber informasi yang
dapat diakses dan dipercaya untuk masyarakat sekitar.
Selain
dari petugas kesehatan dan orang terdekat, dalam penelitian Hermina, dkk sebagian
kecil responden (29,6%) mendapat informasi tentang ASI dan MP-ASI dari media
massa, baik media elektronik (TV dan radio), maupun media cetak (koran,
majalah, buku, poster). Masih rendahnya responden yang memperoleh informasi
tentang ASI dan MP-ASI dari media massa hal ini merupakan tantangan bagi
penanggung jawab program kesehatan. Padahal di pihak lain susu komersial lebih
gencar melalui media massa. Seperti dilaporkan dalam SDKI 2007 bahwa persentase
pemberian susu formula bayi pada umur <2 bulan sebanyak 28%. Terlihat
mengalami peningkatan sebesar 11% dibandingkan SDKI 2002-2003 (17%). Selain itu
dilaporkan juga bahwa pemberian makanan padat komersial sudah diberikan pada
bayi umur 2-3 bulan (30,4%) dan pada umur 4-5 bulan sebanyak 52,9%.
Dyah
Ayu Inayati, dkk melakukan penelitian pada pengasuh utama balita dengan mild wasting (z-score BB/TB <-1,0 -
≥-1,5) berusia ≥6 - <60 bulan di Pulau Nias, Indonesia. Dari kriteria
tersebut didapatkan 114 responden mendapat perlakuan pendidikan gizi intensif
dan 96 responden mendapat perlakuan pendidikan gizi non intensif. Pendidikan
gizi intensif dan non intensif dibedakan dari strategi dan proses pemberian
edukasi. Peneliti ingin mengetahui kefektifitasan pendidikan gizi intensif dan
interaktif yang dilaksanakan setiap minggu dibandingkan dengan pendidikan gizi
non intensif setiap bulan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa program
pendidikan gizi intensif memberikan dampak positif terhadap peningkatan
pengetahuan dan praktek gizi dari pengasuh balita mild wasting. Kelebihan dari pendidikan gizi intensif, selain
frekuensi pertemuan yang sering juga menghadirkan suasana yang kondusif dengan
pendekatan dialog dan diskusi dalam facilitated
group discussion, dan juga menggunakan gambar yang sudah disesuaikan dengan
budaya setempat. Hal ini sangat membantu dalam mempelajari dan mengingat
informasi yang baru dan memotivasi responden untuk meningkatkan praktek gizi
dengan meningkatkan kualitas makanan dan praktek mengasuh anak ketika di rumah.
Penggunaan gambar dapat meningkatkan fokus perhatian terhadap materi,
memberikan informasi kesehatan yang komprehensif, mengulang apa yang sudah dijelaskan,
dan menerapkan materi yang diberikan.
Hadi
Riyadi dan Dadang Sukandar dari Institut Pertanian Bogor mengungkapkan bahwa
perlakuan penyuluhan gizi dan tanaman pekarangan (home gardening) memberikan dampak yang sangat besar terhadap
perbaikan asupan makronutrien dan mikronutrien. Pengetahuan tentang praktek
pemberian makanan yang tepat merupakan prasyarat untuk memperbaiki akses dan
asupan makanan yang cukup dan bergizi, yang merupakan landasan untuk mengurangi
segala bentuk masalah gizi kurang. Dalam penelitiannya, Hadi Riyadi dan Dadang
Sukandar melakukan perlakuan dengan memberikan pendidikan gizi yang
dilaksanakan selama 5 bulan dengan frekuensi 2 kali dalam sebulan, tiap
pertemuan sekitar 60-90 menit. Dari penelitian tersebut menghasilkan jumlah
balita dengan frekuensi pemberian MP-ASI tiga kali sehari di desa kontrol
adalah 36,7% dan di desa perlakuan 26,5%. Di desa kontrol dan desa perlakuan
bayi berusia empat bulan yang sudah diberikan makanan padat sebanyak 21,8% dan
20,4%.
KIE
juga dapat meningkatkan berat badan dan tinggi badan balita. Dalam reviewnya
Aamer Imdad dkk dari The Aga Khan University mengungkapkan bahwa MP-ASI, dengan
pendidikan gizi, dan konseling gizi ibu hamil secara signifikan meningkatkan
berat badan dan tinggi badan pada anak usia 6-24 bulan.
KIE
mempunyai dampak positif terhadap pengetahuan, sikap, dan ketrampilan praktek
pemberian makan dan peningkatan berat badan dan tinggi badan balita. Peran
tenaga kesehatan sangat penting dalam mendukung program KIE sebagai sumber pemberi
informasi yang dapat dipercaya kepada masyarakat. Selain itu, metode edukasi
dengan metode pendekatan yang tepat kepada pengasuh juga harus diperhatikan
agar pengasuh lebih mudah dalam mengingat, menerapkan, dan merubah perilakunya.
Faktor-faktor tersebut patut diperhatikan agar pelaksanaan program ini dapat
berjalan dengan efektif sehingga dapat menurunkan angka tingkat prevalensi underweight, stunting, dan wasting.
DAFTAR PUSTAKA
Hermina, Fuada
N, dan Hidayat TS. Faktor Informasi ASI dan MP-ASI Kaitannya dengan Praktik
Pemberian ASI-Eksklusif di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Studi di Kota Kupang
dan Kabupaten Kupang). Buletin Penelitian
Kesehatan, 2011; 39 (1): 22-23
Imdad A, Yakoob
MY, dan Bhutta ZA. Impact of Maternal Education About Complementary Feeding and
Provision of Complementary Foods on Child Growth in Developing Country. BMC Public Health, 2011; 11 (3): 525-540
Inayati DA,
Scherbaum V, Purwestri RC, Wirawan NN, Suryantan J, Hartono S, Bloem MA,
Pangaribuan RV, Biesalski HK, Hoffmann V, dan Bellows AC. Improved Nutrition
Knowledge and Practice Through Intensive Nutriton Education: A Study Among
Caregivers of Mildly Wasted Children on Nias sland, Indonesia. Food and Nutrition Bulletin, 2012; 33
(2): 117-127
Riyadi H dan
Sukandar D. Asupan Gizi Anak Balita Peserta Posyandu. Jurnal Gizi dan Pangan, 2009; 4 (1): 42-51
Sunguya BF,
Poudel KC, Mlunde LB, Shakya P, Urassa DP, Jimba M, dan Yasuoka J.
Effectiveness of Nutrition Training of Health Workers Toward Improving
Caregivers Feeding Practices for Children Aged Six Months to Two Years: A
Systematic Review. Nutrition Journal, 2013;
12 (66)
UNICEF. 2012. Programming Guide Infant and Young Child
Feeding. New York
0 komentar:
Posting Komentar